Menuju Pasar Terdekat Butuh Biaya Rp 1 juta
Keterisoliran daerah karena keterbatasan sarana transportasi menjadi kendala utama dalam pembangunan. Bagi kawasan terisolir perubahan zaman dan pemerintahan seolah tidak membawa pengaruh berarti terhadap kemajuan fisikdaerah tersebut. Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di Nagari Lubuk Ulang Aling kec. Sangir Batang Hari Kab. Solok Selatan, provinsi Sumatera Barat.
Sebahagian penduduk Nagari ini bermukim sekitar 40 Km dari panjang aliran Sungai Batang Hari, telah turun menurun mengandalkan transportasi air “tampek” sejenis perahu tempel.Nagari Lubuk Ulang Aling Masih Terisolir.
Lubuk Ulang Aling saat ini telah dimekasrkan menjadi tiga nagariyaitu Nagari Lubuk Ulang Aling, Nagari lubuk Ulang Aling Tengah dan Lubuk Ulang Aling Selatan. Daerah yang berbatasan langsung dengan kabupaten Dharmasraya ini telah lama dikenal sebagi daerah tambang emas.
Daerah paling selatan yang merupaka jorong paling hulu adalah Jorong Talantam dengan dusun paling ujung Dusun Kamoung Baru yang berbatasan dengan Kab. Dharmasraya.
Adapun Dusun-dusun yang berada pada aliran sungai ini diantaranya Muaro Sangir, Limau Sundai, Pulau Karam, Tanah Galo, Batu Gajah, Koto Ranah dan Pulau Panjang.
Sebelum masuknya mesin-mesin dalam mengelola tambang emas, sektor ini merupakan salah satu mata pencaharian utama penduduk setempat denga mengandalkan tambang emas tradisional. Namun sekarang tidak sedikit penduduk yang beralih kepada sektor lain sebut saja sektor perkebunan karet diantaranya.
Walau daerah ini kaya akan sumber daya pertambangan, khususnya tambang emas yang notabene simbol kesejahteraan, namun ironinya penduduk setempat masih terjerat dengan kemiskinan, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya akses ekonomi kedaerah ini. Sulitnya akses keluar dan menuju daerah ini salah satu faktor dominan yang bertanggung jawab akan ketertinggalan dengan daerah daerah lainnya.
Besarnya biaya hidup didaerah ini semakin memperparah sisi perekonomian masyarakat setempat. Untuk mencapai pasar lengkap terdekat yang terdapat di Pulau Punjung kab. Dharmasraya, penduduk minimal harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.1 juta, nominal yang relatif cukup besar ini, dikeluarkan hanya untuk biaya minyak “ tempek” yang dimiliki oleh beberapa orang warga. Sementara bagi warga yang tidak mempunyai “tempek” bisa menyewa dengan biaya Rp. 200 ribu.
Efek domino dari minimnya akses ke daerah ini berimbas kepada melonjaknya harga kebutuhan dibanding harga normal pada daerah-daerah lain, dan tidak hanya itu, kebutuhan akan pendidikan dan kesehatanpun harus dibayar dengan biya diatas rata-rata.
Untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan, anak-anak usia sekolah mesti menempuh jarak berkilo meter dengan “tempek” untuk menuju gedung sekolah mereka. Hal ini tidak mengherankan apabila persentase anak putus sekolah didaerah ini sangat tinggi akibat sarana pendidikan yang relatif masih terbatas. Bagi anak-anak yang mau melanjutkan tingkat pendidikannya baik itu untuk tingkat SMP maupun SMA, mau tidak mau harus keluar dari kampung dan merantau ke daerah lain seperti : Kab Solok, Kab Dharmasraya ataupun ke kota Padang.
Sebahagian penduduk Nagari ini bermukim sekitar 40 Km dari panjang aliran Sungai Batang Hari, telah turun menurun mengandalkan transportasi air “tampek” sejenis perahu tempel.Nagari Lubuk Ulang Aling Masih Terisolir.
Lubuk Ulang Aling saat ini telah dimekasrkan menjadi tiga nagariyaitu Nagari Lubuk Ulang Aling, Nagari lubuk Ulang Aling Tengah dan Lubuk Ulang Aling Selatan. Daerah yang berbatasan langsung dengan kabupaten Dharmasraya ini telah lama dikenal sebagi daerah tambang emas.
Daerah paling selatan yang merupaka jorong paling hulu adalah Jorong Talantam dengan dusun paling ujung Dusun Kamoung Baru yang berbatasan dengan Kab. Dharmasraya.
Adapun Dusun-dusun yang berada pada aliran sungai ini diantaranya Muaro Sangir, Limau Sundai, Pulau Karam, Tanah Galo, Batu Gajah, Koto Ranah dan Pulau Panjang.
Sebelum masuknya mesin-mesin dalam mengelola tambang emas, sektor ini merupakan salah satu mata pencaharian utama penduduk setempat denga mengandalkan tambang emas tradisional. Namun sekarang tidak sedikit penduduk yang beralih kepada sektor lain sebut saja sektor perkebunan karet diantaranya.
Walau daerah ini kaya akan sumber daya pertambangan, khususnya tambang emas yang notabene simbol kesejahteraan, namun ironinya penduduk setempat masih terjerat dengan kemiskinan, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya akses ekonomi kedaerah ini. Sulitnya akses keluar dan menuju daerah ini salah satu faktor dominan yang bertanggung jawab akan ketertinggalan dengan daerah daerah lainnya.
Besarnya biaya hidup didaerah ini semakin memperparah sisi perekonomian masyarakat setempat. Untuk mencapai pasar lengkap terdekat yang terdapat di Pulau Punjung kab. Dharmasraya, penduduk minimal harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.1 juta, nominal yang relatif cukup besar ini, dikeluarkan hanya untuk biaya minyak “ tempek” yang dimiliki oleh beberapa orang warga. Sementara bagi warga yang tidak mempunyai “tempek” bisa menyewa dengan biaya Rp. 200 ribu.
Efek domino dari minimnya akses ke daerah ini berimbas kepada melonjaknya harga kebutuhan dibanding harga normal pada daerah-daerah lain, dan tidak hanya itu, kebutuhan akan pendidikan dan kesehatanpun harus dibayar dengan biya diatas rata-rata.
Untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan, anak-anak usia sekolah mesti menempuh jarak berkilo meter dengan “tempek” untuk menuju gedung sekolah mereka. Hal ini tidak mengherankan apabila persentase anak putus sekolah didaerah ini sangat tinggi akibat sarana pendidikan yang relatif masih terbatas. Bagi anak-anak yang mau melanjutkan tingkat pendidikannya baik itu untuk tingkat SMP maupun SMA, mau tidak mau harus keluar dari kampung dan merantau ke daerah lain seperti : Kab Solok, Kab Dharmasraya ataupun ke kota Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar