Seorang teman menghampiriku dan bertanya, “Mengapa engkau berubah? Mengapa engkau terjerumus kejurang budaya massa hanya dalam hitungan satu hari? Bukannya engkau benci dengan yang namanya “nyentrik”?Tolong jawab, kalau tidak aku akan mentertawakanmu”.
Baik wahai teman-temanku kaum intelektual masa depan. Inilah jawabku, mudah-mudahan engkau bisa menjadi bagian dari diriku sekarang. Aku dan penampilanku sekarang adalah sebuah fase yang lahir dengan makna ganda. Interpretasi media menduduki posisi yang amat penting dalam hidupku sekarang. Dunia media komersil telah mengubah ruang sosial dan budaya dalam hidupku. Seni dan budaya dalam penampilanku ini memberikan makna dan arti tersendiri sebagai mediator dan pengembangan suatu budaya konsumen.
Pandanganku bisa saja berlebihan, namun aku akan memberi petunjuk tentang arti penting aktivitas budaya dalam kehidupan kaum muda. Dalam dunia yang katanya setiap orang menonton 14.000 iklan untuk masing-masing orang pada tingkat usia 4 sampai 18 tahun, masalahnya bukan bagaimana aku mencari dan memilih tontonan dalam menentukan bentuk budaya dari kaum muda, tetapi bagaimana aku bergerak didalamnya, bagaimana aku menghayati “keterbenaman”ku dalam dunia yang spektakuler itu.
Memproduksi pesan-pesan media komersil bagiku memberikan dasar bagi munculnya komunikasi-komunikasi yang aku sebut dengan “proto komunitas”, yakni, aku adalah bagian dari sebuah komunitas yang pada saat ini belum diketahui keberadaanku, salah dimengerti, atau hanya sedikit dimengerti.
Ketika film The Matrix hadir melalui bintang Keanu Reeves sebagai Neo, seorang programer komputer yang pernah menerima pesan-pesan misterius dari “cyberspace”, yang berjuang bersama rekan-rekannya menyelamatkan bumi dan umat manusia dari program cengkraman kuat tangan-tangan jahat di dunia maya. Secara bertahap aku telah mempelajari bahwa sebuah realitas bukanlah sesuatu yang digandrungi, tetapi realitas sama sekali tidaklah riil. Aku menyadari The Matrix mengemukakan dunia Barat sedang menjalani realitas palsu, ilusif, dan sebuah kebohongan.
The Matrix merupakan konspirasi aktual, nyaris universal, dan sangat mudah menyebar yang mengkondisikan pemikiran Barat untuk percaya bahwa Tuhan tidak relevan dengan lingkup publik dan dengan persoalan sosial, moral ekonomi, dan finansial kedalam seluruh persoalan dan sendi-sendi kehidupan manusia. Aku adalah bagian dari “proto komunitas” -secara metaforis dapat dilihat sebagai komunitas ruang-mekanismenya merupakan serial berantai dan bukan hanya suatu lingkaran percakapan, hanya saja aku menghadirkan keterkaitan baru budaya kaum muda kontemporer. Komunitas ini aku ciptakan karena aku adalah fans musik, televisi, film, komik, permainan game komputer, dan “Kelompok Diskusi Internet”. Aku disebut sebagai komunitas jaringan “virtual communities” yang berkomunikasi satu sama lain.
Aku mencari pasar terus-menerus terhadap sesuatu yang baru, membangkitkan aspirasi simbolik pop yang langsung, sehingga aku bisa mempercepat denyut nadi kultural. Mulai dari suara cekikikan gadis-gadis dirumah tetangga sampai kepada adegan ranjang yang ditayangkan setiap hari tanpa rasa malu dan berdosa. Buah bibir yang selalu membicarakan buah hati, buah tangan, dan buah dada. Tayangan televisi yang dihiasi dengan gambar kelinci yang diserak-kaburkan suara dan wajahnya, dimeriahkan dengan pendapat para pakar yang simpang siur, diselingi dengan iklan balon karet dan tisu penutup kelamin. Saat aku semakin mahir nanti menegosiasikan ekonomi ini, aku menjadi perantara budaya yang diperhitungkan, maka makna “kemudaanku’ tidak akan tersentuh oleh budaya konsumen.
Aku adalah sebuah perubahan dalam sifat kaum muda, suatu pergeseran yang aku identifikasi dari kejauhan, yang jaraknya antara planet yang aku diami, dengan planet lain digalaksi, yakni dunia majalah. Aku menulis dengan apresiasi dan cita rasa dari planet yang kedua, tetapi secara eksplisit aku mengasosiasikan diriku dengan planet yang pertama. Sebagian melalui tindakan identifikasi yang mengatasi jurang antara generasi yang sering dikatakan orang telah memberi sumbangan pada kebangkitan subculture kaum muda dengan mengidentifikasi perasaan generasi orang tuaku sendiri. Jarak antara planet diukur oleh sebuah post. Itu sebabnya bagiku, post modernisme adalah sebuah budaya citra.
Budaya citra bagiku adalah sebuah dunia yang datar, disitu sudut vertikal penilaian hirarkhis telah lenyap dan organisasi indrawi menjadi horizontal dan diperluas melalui multiplikasi perbedaan. Perantara budaya -kaum muda- bukanlah imam-imam dari budaya suci adiluhung, melainkan pengetahuan yang dirancang dan dipublikasikan oleh berbagai mafia; desainer, penerbit, konsultan iklan, logo, periset pasar, para pembajak pasar, para pembajak buku, dan para petualang.
Tidak ada lagi tempat untuk waktu dan ruang bagi wajah-wajah perempuan yang terlunta, diperkosa, dan dirampok dinegeri sendiri setelah sekian lama bekerja sebagai babu-babu di Arab Saudi dan di Malaysia, sebab aspek ini telah lebur dalam kehadiran abadi sebagai ‘kapanpun’, dan ‘dimanapun’, yang hadir ’kini’, dan ‘disini’. Wanita penzina yang mati dalam kecelakaan mobil bersama pacarnya, dihormati hari matinya, ditabur bunga sepenuh halaman rumahnya, disebarluaskan beritanya keseluruh dunia lima hari lamanya. Seakan media massa didunia sepakat bahwa perzinaan sesuatu yang harus dipublikasikan, dipasarkan, kalau perlu di sahkan menjadi Undang-Undang atau etika dalam pergaulan internasional. Indra-indra ini sejauh manapun berada menyingkir ketingkat atom, elemen, fragmen, dan kombinasi fragmen. Bermutasi menjadi tidak terbatas menjadi budaya tinggi, rendah, rakyat pop, musik pop, musik opera, fesyen jalanan, iklan, houte couture, teori kritis, sains fiksi, jurnalistik.
Aku adalah ilustrasi dari musik, gaya editorial, dan aku sebuah iklan dari industri rekaman dan fesyen yang aku tuangkan dalam subculture. Aku adalah potensi radikal dari band yang membawa arti “kebersamaan” dan “perdamaian”. Akan tetapi “kebersamaan”, dan “perdamaian” yang aku bawa bukan berarti eksternal kategori kemudaan, tetapi sungguh-sungguh terlibat dalam sebuah pembentukan perlawanan terhadap maraknya pelacuran akademisi dan kaum intelektual karena keinginan pada segenggam kekuasaan. Janji-janji berbuih dari mulut calon wakil rakyat pada setiap pemilihan umum. Penipuan kertas dan kotak suara, menambah-kurangkan jumlah suara untuk kemenangan golongan tertentu. Semua perlawanan yang aku bawa adalah dengan harapan terbentuknya budaya baru yang berbeda.
Pembentukan budaya yang berbeda bagiku mempunyai cita rasa yang berbeda. Cita rasa kebudayaan tidak akan berubah kecuali kepribadian budaya sudah diubah. Gaya dan cita rasa suatu masyarakat berasal dari nilai-nilai rasial, religius, historis, kultural, dan estetika. Bagiku gaya dan cita rasa merupakan faktor fundamental yang cenderung menentukan jenis barang yang dibeli masyarakat. Politikus karbitan, pengusaha rakus, pelawak yang kadang menjual kemiskinan dan kekurangan orang untuk ditertawakan, atau juga para pencipta lagu yang tidak malu menciplak dan membual adalah produk budaya dari dunia industri yang mencoba mengubah kepribadian para langgananku sehingga mereka tidak akan bertahan pada cita rasa kesukaan khasnya masing-masing, dan dengan demikian mereka dapat diubah menjadi boneka-boneka yang tidak mampu melawan untuk diberi pakaian dengan warna, bentuk, dan potongan apa saja.
Perubahan citarasa budaya yang aku bawa sekarang adalah perubahan-perubahan dalam industri budaya dan hiburan yang tengah distruktur ulang. Sebagian untuk mengantisipasi kebangkitan generasi muda sebagai sebuah pasar. Seiring semakin runtuhnya batas-batas nasional ketika budaya pop Amerika semakin meningkatkan cengkraman globalnya. Perubahan ini aku pandang berperan pada periode ketidakpastian dan ketidakstabilan menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional seperti tanggung jawab, sikap hemat, dan kebangggaan menyelesaikan pekerjaan dengan baik versus nilai-nilai baru seperti hedonisme konsumsi spektakuler yang dikatakan sebagai Nasionalisme baru “Masyarakat Makmur” menjadi tajam.
Baik wahai teman-temanku kaum intelektual masa depan. Inilah jawabku, mudah-mudahan engkau bisa menjadi bagian dari diriku sekarang. Aku dan penampilanku sekarang adalah sebuah fase yang lahir dengan makna ganda. Interpretasi media menduduki posisi yang amat penting dalam hidupku sekarang. Dunia media komersil telah mengubah ruang sosial dan budaya dalam hidupku. Seni dan budaya dalam penampilanku ini memberikan makna dan arti tersendiri sebagai mediator dan pengembangan suatu budaya konsumen.
Pandanganku bisa saja berlebihan, namun aku akan memberi petunjuk tentang arti penting aktivitas budaya dalam kehidupan kaum muda. Dalam dunia yang katanya setiap orang menonton 14.000 iklan untuk masing-masing orang pada tingkat usia 4 sampai 18 tahun, masalahnya bukan bagaimana aku mencari dan memilih tontonan dalam menentukan bentuk budaya dari kaum muda, tetapi bagaimana aku bergerak didalamnya, bagaimana aku menghayati “keterbenaman”ku dalam dunia yang spektakuler itu.
Memproduksi pesan-pesan media komersil bagiku memberikan dasar bagi munculnya komunikasi-komunikasi yang aku sebut dengan “proto komunitas”, yakni, aku adalah bagian dari sebuah komunitas yang pada saat ini belum diketahui keberadaanku, salah dimengerti, atau hanya sedikit dimengerti.
Ketika film The Matrix hadir melalui bintang Keanu Reeves sebagai Neo, seorang programer komputer yang pernah menerima pesan-pesan misterius dari “cyberspace”, yang berjuang bersama rekan-rekannya menyelamatkan bumi dan umat manusia dari program cengkraman kuat tangan-tangan jahat di dunia maya. Secara bertahap aku telah mempelajari bahwa sebuah realitas bukanlah sesuatu yang digandrungi, tetapi realitas sama sekali tidaklah riil. Aku menyadari The Matrix mengemukakan dunia Barat sedang menjalani realitas palsu, ilusif, dan sebuah kebohongan.
The Matrix merupakan konspirasi aktual, nyaris universal, dan sangat mudah menyebar yang mengkondisikan pemikiran Barat untuk percaya bahwa Tuhan tidak relevan dengan lingkup publik dan dengan persoalan sosial, moral ekonomi, dan finansial kedalam seluruh persoalan dan sendi-sendi kehidupan manusia. Aku adalah bagian dari “proto komunitas” -secara metaforis dapat dilihat sebagai komunitas ruang-mekanismenya merupakan serial berantai dan bukan hanya suatu lingkaran percakapan, hanya saja aku menghadirkan keterkaitan baru budaya kaum muda kontemporer. Komunitas ini aku ciptakan karena aku adalah fans musik, televisi, film, komik, permainan game komputer, dan “Kelompok Diskusi Internet”. Aku disebut sebagai komunitas jaringan “virtual communities” yang berkomunikasi satu sama lain.
Aku mencari pasar terus-menerus terhadap sesuatu yang baru, membangkitkan aspirasi simbolik pop yang langsung, sehingga aku bisa mempercepat denyut nadi kultural. Mulai dari suara cekikikan gadis-gadis dirumah tetangga sampai kepada adegan ranjang yang ditayangkan setiap hari tanpa rasa malu dan berdosa. Buah bibir yang selalu membicarakan buah hati, buah tangan, dan buah dada. Tayangan televisi yang dihiasi dengan gambar kelinci yang diserak-kaburkan suara dan wajahnya, dimeriahkan dengan pendapat para pakar yang simpang siur, diselingi dengan iklan balon karet dan tisu penutup kelamin. Saat aku semakin mahir nanti menegosiasikan ekonomi ini, aku menjadi perantara budaya yang diperhitungkan, maka makna “kemudaanku’ tidak akan tersentuh oleh budaya konsumen.
Aku adalah sebuah perubahan dalam sifat kaum muda, suatu pergeseran yang aku identifikasi dari kejauhan, yang jaraknya antara planet yang aku diami, dengan planet lain digalaksi, yakni dunia majalah. Aku menulis dengan apresiasi dan cita rasa dari planet yang kedua, tetapi secara eksplisit aku mengasosiasikan diriku dengan planet yang pertama. Sebagian melalui tindakan identifikasi yang mengatasi jurang antara generasi yang sering dikatakan orang telah memberi sumbangan pada kebangkitan subculture kaum muda dengan mengidentifikasi perasaan generasi orang tuaku sendiri. Jarak antara planet diukur oleh sebuah post. Itu sebabnya bagiku, post modernisme adalah sebuah budaya citra.
Budaya citra bagiku adalah sebuah dunia yang datar, disitu sudut vertikal penilaian hirarkhis telah lenyap dan organisasi indrawi menjadi horizontal dan diperluas melalui multiplikasi perbedaan. Perantara budaya -kaum muda- bukanlah imam-imam dari budaya suci adiluhung, melainkan pengetahuan yang dirancang dan dipublikasikan oleh berbagai mafia; desainer, penerbit, konsultan iklan, logo, periset pasar, para pembajak pasar, para pembajak buku, dan para petualang.
Tidak ada lagi tempat untuk waktu dan ruang bagi wajah-wajah perempuan yang terlunta, diperkosa, dan dirampok dinegeri sendiri setelah sekian lama bekerja sebagai babu-babu di Arab Saudi dan di Malaysia, sebab aspek ini telah lebur dalam kehadiran abadi sebagai ‘kapanpun’, dan ‘dimanapun’, yang hadir ’kini’, dan ‘disini’. Wanita penzina yang mati dalam kecelakaan mobil bersama pacarnya, dihormati hari matinya, ditabur bunga sepenuh halaman rumahnya, disebarluaskan beritanya keseluruh dunia lima hari lamanya. Seakan media massa didunia sepakat bahwa perzinaan sesuatu yang harus dipublikasikan, dipasarkan, kalau perlu di sahkan menjadi Undang-Undang atau etika dalam pergaulan internasional. Indra-indra ini sejauh manapun berada menyingkir ketingkat atom, elemen, fragmen, dan kombinasi fragmen. Bermutasi menjadi tidak terbatas menjadi budaya tinggi, rendah, rakyat pop, musik pop, musik opera, fesyen jalanan, iklan, houte couture, teori kritis, sains fiksi, jurnalistik.
Aku adalah ilustrasi dari musik, gaya editorial, dan aku sebuah iklan dari industri rekaman dan fesyen yang aku tuangkan dalam subculture. Aku adalah potensi radikal dari band yang membawa arti “kebersamaan” dan “perdamaian”. Akan tetapi “kebersamaan”, dan “perdamaian” yang aku bawa bukan berarti eksternal kategori kemudaan, tetapi sungguh-sungguh terlibat dalam sebuah pembentukan perlawanan terhadap maraknya pelacuran akademisi dan kaum intelektual karena keinginan pada segenggam kekuasaan. Janji-janji berbuih dari mulut calon wakil rakyat pada setiap pemilihan umum. Penipuan kertas dan kotak suara, menambah-kurangkan jumlah suara untuk kemenangan golongan tertentu. Semua perlawanan yang aku bawa adalah dengan harapan terbentuknya budaya baru yang berbeda.
Pembentukan budaya yang berbeda bagiku mempunyai cita rasa yang berbeda. Cita rasa kebudayaan tidak akan berubah kecuali kepribadian budaya sudah diubah. Gaya dan cita rasa suatu masyarakat berasal dari nilai-nilai rasial, religius, historis, kultural, dan estetika. Bagiku gaya dan cita rasa merupakan faktor fundamental yang cenderung menentukan jenis barang yang dibeli masyarakat. Politikus karbitan, pengusaha rakus, pelawak yang kadang menjual kemiskinan dan kekurangan orang untuk ditertawakan, atau juga para pencipta lagu yang tidak malu menciplak dan membual adalah produk budaya dari dunia industri yang mencoba mengubah kepribadian para langgananku sehingga mereka tidak akan bertahan pada cita rasa kesukaan khasnya masing-masing, dan dengan demikian mereka dapat diubah menjadi boneka-boneka yang tidak mampu melawan untuk diberi pakaian dengan warna, bentuk, dan potongan apa saja.
Perubahan citarasa budaya yang aku bawa sekarang adalah perubahan-perubahan dalam industri budaya dan hiburan yang tengah distruktur ulang. Sebagian untuk mengantisipasi kebangkitan generasi muda sebagai sebuah pasar. Seiring semakin runtuhnya batas-batas nasional ketika budaya pop Amerika semakin meningkatkan cengkraman globalnya. Perubahan ini aku pandang berperan pada periode ketidakpastian dan ketidakstabilan menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional seperti tanggung jawab, sikap hemat, dan kebangggaan menyelesaikan pekerjaan dengan baik versus nilai-nilai baru seperti hedonisme konsumsi spektakuler yang dikatakan sebagai Nasionalisme baru “Masyarakat Makmur” menjadi tajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar