. Terbitnya berbagai literatur itu mungkin berawal dari kesan pertama para pelancong terhadap komunitas di Republik ini. Apakah itu karena keramah tamahan, budi bahasa, prilaku sopan serta nilai penghargaan sesuai dengan norma-norma umum yang berlaku diwilayah setempat yang dikunjungi.
Menarik memang, ketika orang barat yang memiliki budaya dan norma yang berbeda menilai bangsa ini sebagai komunitas yang santun. Sudah menjadi naluri dasar setiap individu terlahir untuk merespon dan menilai berdasarkan referensi pengetahuan pada lingkungan masyarakat dimana karakteristik individu terbentuk.
Tunggu…., sebaiknya kita simpan dahulu kebanggaan akan penilaian para bule itu. Bisa jadi kesantunan yang diserap para pelancong hanya sekedar dari penampilan luar kita yang semu.seperti kata pepatah “Harimau di dalam, kambiang juo nan kalua”. Tak dapat dipungkiri, kadang kala penampilan luar tak jarang yang menipu. Buktinya sebahagian besar para penipu ulung sangat cerdas dalam menampilkan prilaku yang santun, tutur kata yang halus lengkap dengan senyum sapa yang bersahaja, menebar daya pikat lalu menjerat untuk mencapai segala keinginannya.
Sopan santun tidak selalu dilahirkan dari kebaikan hati, keadilan, ketulusan, atau keberpihakan pada kebenaran. Akan tetapi hal itu dapat mencerminkan bahwa individu tersebut terkesan berbudaya untuk bisa diterima dan dihargai saat bersosialisai. jika demikan, haruskah kita pesimistis melihat perilaku santun seseorang.
Disisi lain, sopan santun juga merupakan prilaku yang terimbas dari tindak kebajikan, sekalipun ia muncul sebagai ekspresi permukaan, namun nilai yang terkandung dalam kebajikan itu akan dapat merangsang tumbuhnya kebajikan yang hakiki. Mungkin sisi yang terakhir inilah yang memberi kesan mendalam pada para wisatawan manca negara terhadap prilaku kominitas bangsa ini.
Dengan kesekian kalinya dicanangkan Visit Indonesian Year (VIY), Memacu setiap daerah di republik tercinta ini untuk memaksimalkan potensii pariwisata setempat, lewat berbagai macam program serta terobosan brilian yang dimotori pemerintahan setempat dalam menggaet wisatawan maupun investor. Dengan Satu kat sepakat.., guna menambah pendapatan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun ada Satu hal yang belum tersentuh, bahwa kebanyakan wisatawan manca Negara datang ke Indonesia, karena Negara ini mempunyai sesuatu yang berbeda. Sangat disayangkan, kebanyakan dari anak bangsa ini terperangkap menganggap perbedaan itu hanya sebatas fisik dari letak geografis, keaneka ragaman produk seni budaya. Kadang kita lupa bahwasanya keindahan alam di Negara asal wisatawan itu tidak kalah bagus, eksotiknya, Air Terjun Niagara, pegunungan Swiss, ratusan danau di Norwegia atau tempat lainnya yang barang kali jauh lebih memanjakan nilai estetika mereka.
Begitu pun mengenai pertunjukan seni budaya, negara-negara asing memiliki keberagaman tak kalah dari bangsa kita. Bahkan secara tidak disengaja, promosi kepariwisataan yang kita gelar melalui beberapa tour budaya, pertunjukan seni budaya kita juga hadir dalam keseharian masyarakat barat. Festival budaya yang digelar di negara-negara eropa misalnya, telah mendorong orang-orang barat menikmati seni budaya kita tanpa harus membuang waktu dan biaya datang ke Indonesia.
Perbedaan presepsi istilah ‘beda’ antara wisatawan asing dan masyarakat kita tidak lain karena kebijakan pelaku pariwisata kita hanya terfokus untuk menarik minat wisatawan untuk datang ke Negara ini, tapi bukan dilandaskan untuk merawat dan menjaga ciri perbedaan sebagai karakteristik pada intinya merupakan roh yang menghidupkan kepariwisataan. Akhirnya semuanya bermuara pada kerancuan pegambil kebijakan dalam penyajian suasana pendukung yang dianggap membuat nyaman wisatawan, lewat penyajian berbagai ikon penanda kehidupan budaya barat, sebut saja desain interior hotel, menu makanan sampai pemandu wisata yang terkesan lebih bule dari pada bule.
Lantas dengan penyuguhan semua itu, dimana sebenarnya karakter sebagai ciri khas yang membedakan bangsa ini dengan bangsa lainnya. Ataukah kesantunan itu sedemikian lenturnya sehingga warisan yang telah mengakar tersebut begitu mudah tergerus. Yang tersisa hanya bahan sebagai topik pembicaraan, namun dalam realitas keseharian jauh panggang dari pada api
Pekerjaan rumah terbesar bagi anak bangsa ini , bagaimana memperkuat kesan pertama dikalangan wisatawan mancanegara. Bukan hanya memoles hal-hal bersifat fisik dari sektor pariwisata seperti yang sedang digadang-gadangkan hampir disetiap daerah, tidak terkecuali di Sumatera Barat. Harus juga ditekankan untuk merawat sisi sopan santun sebagai roh dari ketinggian budaya daerah serta memupuk kekuatan dari keramah tamahan.
Jika logika ini ditumbuh kembangkan, tentunya anak bangsa ini tidak perlu khawatir akan banyaknya negara lain yang “membajak” budaya dan aneka kesenian negara kita. Karena roh yang menjadi inti dari semua hasil budi, cipta dan karya titipan nenek moyang bangsa ini masih tertanam kokoh didalam sanubari kita, sehingga para wisatwan akan selalu bisa menikmatii perbedaan Indonesia dengan negara lain. Semuanya kembali kepada sejauh mana kepedulian memastikan perbedaan yang kita miliki bisa dilihat dan dinikmati, bukan Cuma sekedar menjadi objek dari wisata, namun semakin mengakar di kehidupan sehari-hari yang tentunya akan membuat jatidiri bangsa ini tetap eksis secara santun menepis kepunahan yang gencar ditawari arus globalisasi.
Menarik memang, ketika orang barat yang memiliki budaya dan norma yang berbeda menilai bangsa ini sebagai komunitas yang santun. Sudah menjadi naluri dasar setiap individu terlahir untuk merespon dan menilai berdasarkan referensi pengetahuan pada lingkungan masyarakat dimana karakteristik individu terbentuk.
Tunggu…., sebaiknya kita simpan dahulu kebanggaan akan penilaian para bule itu. Bisa jadi kesantunan yang diserap para pelancong hanya sekedar dari penampilan luar kita yang semu.seperti kata pepatah “Harimau di dalam, kambiang juo nan kalua”. Tak dapat dipungkiri, kadang kala penampilan luar tak jarang yang menipu. Buktinya sebahagian besar para penipu ulung sangat cerdas dalam menampilkan prilaku yang santun, tutur kata yang halus lengkap dengan senyum sapa yang bersahaja, menebar daya pikat lalu menjerat untuk mencapai segala keinginannya.
Sopan santun tidak selalu dilahirkan dari kebaikan hati, keadilan, ketulusan, atau keberpihakan pada kebenaran. Akan tetapi hal itu dapat mencerminkan bahwa individu tersebut terkesan berbudaya untuk bisa diterima dan dihargai saat bersosialisai. jika demikan, haruskah kita pesimistis melihat perilaku santun seseorang.
Disisi lain, sopan santun juga merupakan prilaku yang terimbas dari tindak kebajikan, sekalipun ia muncul sebagai ekspresi permukaan, namun nilai yang terkandung dalam kebajikan itu akan dapat merangsang tumbuhnya kebajikan yang hakiki. Mungkin sisi yang terakhir inilah yang memberi kesan mendalam pada para wisatawan manca negara terhadap prilaku kominitas bangsa ini.
Dengan kesekian kalinya dicanangkan Visit Indonesian Year (VIY), Memacu setiap daerah di republik tercinta ini untuk memaksimalkan potensii pariwisata setempat, lewat berbagai macam program serta terobosan brilian yang dimotori pemerintahan setempat dalam menggaet wisatawan maupun investor. Dengan Satu kat sepakat.., guna menambah pendapatan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun ada Satu hal yang belum tersentuh, bahwa kebanyakan wisatawan manca Negara datang ke Indonesia, karena Negara ini mempunyai sesuatu yang berbeda. Sangat disayangkan, kebanyakan dari anak bangsa ini terperangkap menganggap perbedaan itu hanya sebatas fisik dari letak geografis, keaneka ragaman produk seni budaya. Kadang kita lupa bahwasanya keindahan alam di Negara asal wisatawan itu tidak kalah bagus, eksotiknya, Air Terjun Niagara, pegunungan Swiss, ratusan danau di Norwegia atau tempat lainnya yang barang kali jauh lebih memanjakan nilai estetika mereka.
Begitu pun mengenai pertunjukan seni budaya, negara-negara asing memiliki keberagaman tak kalah dari bangsa kita. Bahkan secara tidak disengaja, promosi kepariwisataan yang kita gelar melalui beberapa tour budaya, pertunjukan seni budaya kita juga hadir dalam keseharian masyarakat barat. Festival budaya yang digelar di negara-negara eropa misalnya, telah mendorong orang-orang barat menikmati seni budaya kita tanpa harus membuang waktu dan biaya datang ke Indonesia.
Perbedaan presepsi istilah ‘beda’ antara wisatawan asing dan masyarakat kita tidak lain karena kebijakan pelaku pariwisata kita hanya terfokus untuk menarik minat wisatawan untuk datang ke Negara ini, tapi bukan dilandaskan untuk merawat dan menjaga ciri perbedaan sebagai karakteristik pada intinya merupakan roh yang menghidupkan kepariwisataan. Akhirnya semuanya bermuara pada kerancuan pegambil kebijakan dalam penyajian suasana pendukung yang dianggap membuat nyaman wisatawan, lewat penyajian berbagai ikon penanda kehidupan budaya barat, sebut saja desain interior hotel, menu makanan sampai pemandu wisata yang terkesan lebih bule dari pada bule.
Lantas dengan penyuguhan semua itu, dimana sebenarnya karakter sebagai ciri khas yang membedakan bangsa ini dengan bangsa lainnya. Ataukah kesantunan itu sedemikian lenturnya sehingga warisan yang telah mengakar tersebut begitu mudah tergerus. Yang tersisa hanya bahan sebagai topik pembicaraan, namun dalam realitas keseharian jauh panggang dari pada api
Pekerjaan rumah terbesar bagi anak bangsa ini , bagaimana memperkuat kesan pertama dikalangan wisatawan mancanegara. Bukan hanya memoles hal-hal bersifat fisik dari sektor pariwisata seperti yang sedang digadang-gadangkan hampir disetiap daerah, tidak terkecuali di Sumatera Barat. Harus juga ditekankan untuk merawat sisi sopan santun sebagai roh dari ketinggian budaya daerah serta memupuk kekuatan dari keramah tamahan.
Jika logika ini ditumbuh kembangkan, tentunya anak bangsa ini tidak perlu khawatir akan banyaknya negara lain yang “membajak” budaya dan aneka kesenian negara kita. Karena roh yang menjadi inti dari semua hasil budi, cipta dan karya titipan nenek moyang bangsa ini masih tertanam kokoh didalam sanubari kita, sehingga para wisatwan akan selalu bisa menikmatii perbedaan Indonesia dengan negara lain. Semuanya kembali kepada sejauh mana kepedulian memastikan perbedaan yang kita miliki bisa dilihat dan dinikmati, bukan Cuma sekedar menjadi objek dari wisata, namun semakin mengakar di kehidupan sehari-hari yang tentunya akan membuat jatidiri bangsa ini tetap eksis secara santun menepis kepunahan yang gencar ditawari arus globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar